Walikota terpilih Kota New York Zohran Mamdani baru-baru ini mengadakan pertemuan ramah yang tidak terduga dengan mantan Presiden Donald Trump, meskipun ada pertentangan publik selama berbulan-bulan. Trump, yang berulang kali menyebut Mamdani sebagai “Komunis”, menyatakan optimismenya mengenai masa jabatannya sebagai walikota, dengan menyatakan bahwa ia akan “lebih bahagia, semakin baik [Mamdani].” Pertemuan ini, bukannya bentrokan, menandakan strategi yang diperhitungkan oleh Mamdani untuk menjembatani kesenjangan melalui pragmatisme bersama.
Strategi Dibalik Keramahan
Kampanye Mamdani dibangun dengan mengubah orang-orang yang skeptis menjadi pendukung, dan pendekatannya terhadap Trump mengikuti pedoman ini. Pertemuan tersebut berfokus pada bidang-bidang yang menjadi kepentingan bersama – khususnya, keterjangkauan harga di New York City – dibandingkan pertikaian ideologi. Ini bukanlah taktik baru; Mamdani telah berhasil menggunakannya dengan berbagai pemimpin politik dan bisnis, dengan memprioritaskan kesepakatan daripada konfrontasi.
Dinamikanya sangat mencolok: Trump menunjukkan kehangatan, bahkan kasih sayang, terhadap Mamdani, sangat kontras dengan sikap agresifnya di depan umum. Hal ini menunjukkan bahwa Trump mengakui adanya semangat yang sama dalam diri Mamdani, meskipun latar belakang politik mereka sangat berbeda. Keduanya menjadi terkenal karena menantang struktur politik yang sudah mapan, mengandalkan politik berbasis gerakan dibandingkan jaringan dukungan tradisional.
Mengapa Ini Penting: Koneksi di New York
Hubungan tak terduga antara Trump dan Mamdani sebagian berasal dari asal usul mereka yang sama di New York. Trump, meskipun pindah ke Florida, tetap menaruh perhatian besar pada keberhasilan kota tersebut, menolak kecenderungan Partai Republik yang membiarkan pusat-pusat kota mengalami kemunduran. Dia mengakui bahwa New York telah menolaknya, tetapi juga melihat bahwa mereka juga menolak Mamdani.
Kedua pemimpin juga pragmatis. Trump, di awal karir politiknya, dikenal fleksibel dalam bekerja dengan kedua partai. Mamdani, terlepas dari latar belakang DSA-nya, menunjukkan kesediaan untuk berkompromi, menjauhkan diri dari ideologi ketat untuk mengamankan kemenangannya sebagai walikota. Kemampuan beradaptasi ini merupakan sebuah benang merah: keduanya memahami perlunya menjadi “orang yang Anda butuhkan” untuk berhasil dalam politik.
Jalan ke Depan: Risiko yang Terkalkulasi
Tim Mamdani secara proaktif berupaya memahami bahwa sikap menentang Trump dapat memicu tindakan yang mengganggu. Strateginya adalah untuk terlibat dengan itikad baik, sebuah taktik yang diterapkan Mamdani terhadap lawan-lawannya dari berbagai spektrum. Pendekatan ini terbukti berhasil: mereka yang berhubungan langsung dengan Mamdani sering kali menganggapnya tidak seradikal yang digambarkan, sebuah pola yang melemahkan rasa takut Partai Republik selama pemilihan walikota.
Apakah aliansi ini akan bertahan masih harus dilihat. Trump bisa saja kembali melancarkan serangannya, namun gambaran pertemuan ramah-tamah mereka sangat kuat, sehingga menyingkapkan kekosongan retorikanya sebelumnya. Pembelajaran di sini bukan hanya tentang keterlibatan Partai Demokrat dengan Trump, namun juga tentang kenyamanan Mamdani dalam menavigasi ruang politik dengan autentik, memprioritaskan nilai-nilai daripada triangulasi.
Pada akhirnya, hubungan Mamdani-Trump merupakan pengingat bahwa pragmatisme bersama dapat mengatasi kesenjangan ideologi, terutama jika berakar pada pemahaman bersama tentang permainan politik. Masa depan kolaborasi mereka masih belum pasti, namun untuk saat ini, kolaborasi ini merupakan pertaruhan yang telah membuahkan hasil bagi walikota New York yang akan datang.



















































