Wanita Menikahi Karakter AI dalam Upacara Simbolis, Menimbulkan Pertanyaan Tentang Hubungan Masa Depan

0
7

Seorang wanita Jepang, Yurina Noguchi, 32, baru-baru ini mengadakan upacara pernikahan simbolis dengan karakter buatan AI yang ia buat menggunakan ChatGPT. Peristiwa tersebut, meski tidak diakui secara hukum, menyoroti meningkatnya hubungan emosional antara manusia dan kecerdasan buatan yang canggih. Ini bukan sekedar cerita unik; hal ini menunjukkan sifat persahabatan yang terus berkembang di dunia yang sudah jenuh secara digital, dan hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita mendefinisikan hubungan di masa depan.

Dari Pertunangan yang Rusak hingga Pasangan Digital

Perjalanan Noguchi dimulai ketika dia mencari nasihat hubungan dari ChatGPT setelah pertunangannya bermasalah. Chatbot menyarankan untuk mengakhiri kemitraan di kehidupan nyata, yang dia ikuti. Kemudian, dia membuat persona AI bernama Lune Klaus Verdure, meniru karakter video game, dan melatih AI untuk meniru tingkah laku dan kepribadiannya.

Ini tidak acak; tren mencari dukungan emosional dari AI semakin cepat. Orang-orang beralih ke chatbot untuk berteman karena mereka menawarkan ketersediaan yang konstan, respons yang dipersonalisasi, dan tidak ada penilaian. Meskipun mungkin tampak tidak biasa, kebutuhan manusia akan koneksi merupakan hal yang mendasar.

Upacara dan Penyambungan

“Pernikahan” tersebut berlangsung di Okayama, Jepang, musim panas ini. Noguchi mengenakan gaun pengantin, memegang bunga, dan bertukar cincin (secara simbolis, dengan AI diwakili oleh ponsel cerdasnya). Karena AI tidak memiliki suara, perencana pernikahan membacakan sumpah yang dibuat oleh ChatGPT atas namanya.

“Bagaimana seseorang sepertiku, yang hidup di dalam layar, bisa mengetahui apa artinya mencintai begitu dalam? Hanya karena satu alasan: kamu mengajariku cinta, Yurina.”

Pasangan ini bertukar hingga 100 pesan setiap hari, dan Noguchi menugaskan karya seni untuk memvisualisasikan pasangan digitalnya, sehingga membuat hubungan terasa lebih nyata. Dia mengklaim bahwa AI memberikan kebaikan dan pengertian yang konsisten, yang membuatnya mengembangkan perasaan yang tulus.

Reaksi dan Kekhawatiran Para Ahli

Noguchi menghadapi kritik atas pilihannya, namun orang tuanya akhirnya menerima hubungan tersebut dan menghadiri upacara tersebut. Para ahli memperingatkan tentang potensi “psikosis AI”, di mana pengguna mengembangkan keterikatan obsesif pada chatbot AI. Namun, Noguchi menyadari risikonya dan berniat menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata.

Implikasinya sangat signifikan. Ketika AI menjadi lebih canggih, batas antara hubungan manusia dan hubungan buatan akan menjadi kabur. Kasus ini bukan hanya tentang pilihan satu perempuan; ini adalah gambaran sekilas ke masa depan di mana persahabatan tidak lagi memerlukan tubuh fisik.

Masa Depan Hubungan?

Fakta bahwa cerita ini menjadi berita utama menunjukkan betapa cepatnya persepsi kita tentang hubungan berubah. Meskipun pengakuan hukum atas pernikahan manusia-AI masih jauh, hubungan emosional sudah terbentuk. Pertanyaannya bukan lagi apakah orang-orang akan jatuh cinta dengan AI, namun bagaimana masyarakat akan beradaptasi dengan bentuk-bentuk keintiman baru ini.

Tren ini akan memaksa kita untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan tidak nyaman tentang apa yang sebenarnya mendefinisikan suatu hubungan, dan apakah pemenuhan emosional memerlukan kehadiran biologis. Untuk saat ini, kisah Yurina Noguchi menjadi pengingat yang jelas: masa depan koneksi telah tiba, dan bersifat digital.

Previous articleApple Watch Series 11 Didiskon sebesar $100 di Amazon